Wednesday, April 20, 2011

Cerpen - Akhir Perjalanan


“Kamu yakin mau datang? Sendirian saja?”
Pertanyaan itu terus-menerus memenuhi kepalaku. Ribuan kali aku mengenyahkannya, tapi toh akhirnya selalu kembali dan mengganggu pikiranku. Pun, ketika aku sudah setengah jalan menuju kota itu. Membuatku meragu, tepatkah keputusan ini? Haruskah aku hadir disana? Atau sebaiknya aku turun di pemberhentian berikutnya? Mencari tempat bermalam dan esok pagi-pagi kembali ke kota tempatku mengasing?
Kulirik jam tanganku, jarumnya menunjukkan pukul 20.30. Berarti masih dua jam lagi aku akan tiba disana. Atau delapan jam lagi waktu yang kupunya untuk menetapkan langkah, melanjutkan perjalanan penuh pertaruhan ini atau menghentikannya sesegera mungkin.
Ah, aku masih saja meragu, padahal sudah seminggu terakhir aku mencoba menata hati dan membulatkan tekad, memantapkan langkah sebelum akhirnya mengambil keputusan ini.
Bib..bib..bib..bib..
Sebuah getar halus dari balik saku celana membuyarkan lamunanku. Kukeluarkan telepon genggamku dari sana. Sebuah pesan singkat
pengirim: my mirror
10 Mei 2003
21:15
Kamu baik-baik saja kan? Rasaku berkata aku seharusnya ada disana, menemanimu..kapan pun kamu ingin membaginya, biarkan aku tahu tentang itu..love you
Kumasukkan kembali telepon genggam itu ke tempatnya semula. Kucoba mengalihkan pandangku keluar, tapi cuma kegelapan yang tersaji di balik jendela. Masih saja dia merisaukanku, padahal sudah berkali-kali kukatakan padanya aku akan baik-baik saja. Tapi, bisakah aku menipunya? Ikatan kami begitu kuat. Tautan batin kami bahkan memungkinkan kami mengetahui kegundahan satu sama lain tanpa harus bertukar kata.
Puluhan tahun kami bersama, tak terhitung lagi berapa banyak kegembiraan yang kubagi bersamanya. Sama tak terhingganya dengan dukanya yang kurasa. Apa pun itu, yang kutahu sampai di detik ini ikatan yang kuat ini tak bisa kulepas darinya.
Bib..bib..bib..bib..
Sekali lagi telepon genggamku bergetar. Ah, pasti dia lagi. Sekali ini aku ingin mengacuhkannya. Bukan membencinya, bukan pula bermaksud menyembunyikan sesuatu darinya. Toh, sedari awal dia yang paling menentang perjalanan ini. Menganggap ini semua kegilaan yang akan membuatku terperosok makin dalam luka hati dan keterpurukan.
Bib..bib..bib..bib..bib..bib..
Kali ini getar yang menjalari pangkal pahaku terasa lebih panjang. Ah, siapa pula yang menelpon malam-malam begini? Tapi sungguh, aku tak lagi berminat mencari tahu. Kuacuhkan panggilan itu.
Di luar masih gelap. Kuamati sekelilingku, sepi. Semua penumpang terlelap dan bukan tak mungkin sedang berpetualang di alam mimpi. Kukeluarkan buku catatanku, dalam cahaya temaram, kubaca lembar demi lembarnya, hingga.
Sabtu, 14 Desember 2002
Hanya ilalang yang mengiris lari, sebelum bentangan busur meregang, sepanjang lengan kecil..mengirim mata panah sebuah pesan..selintas menembus jantung, seekor CINTA..,
Mataku terpaku di lembar ini. Ingatanku melayang kembali ke peristiwa itu, satu penggal yang harusnya jadi momentumku. Terlebih setelah perjalanan panjang dan sekian banyak rintangan yang harus kami taklukkan.
Sayangnya, seperti yang selalu sahabat-sahabatku bilang, aku orang yang paling bebal untuk urusan cinta. Satu-satunya perempuan yang tak pernah bisa menangkap maksud di balik bahasa tubuh, pun serentetan pertanda. Dan itu pula yang terjadi, hingga detik ini aku tak kunjung bisa mengartikan makna di balik untaian puisi yang ia kirim dan telah kutulis ulang dalam lembar perjalanan hidupku. Salahkahku?
Perjalanan masa laluku terhenti. Di hadapanku berdiri seorang kru moda perjalanan yang kutumpangi ini. Diselingi senyumnya yang hangat ia mengingatkanku untuk bersiap, tak lama lagi perjalanan panjang kami akan berakhir. Kututup catatan harianku. Kuletakkan kembali ia di sudut nyaman tempatnya bersembunyi, meski sejujurnya aku masih ingin menelusuri kembali lorong-orong yang pernah kulalui.
Pendar cahaya lamat-lamat mulai menerobos masuk melalui jendela di sisiku. Sejauh mata memandang, gubuk-gubuk liar nan kumuh masih bersaing –berebut lahan- dengan gedung pencakar langit. Kota ini tak banyak berubah. Tapi benarkah? Masih bisakah aku menemukan penggal-penggal yang hilang dan terlepas itu kembali? Ataukah hanya luka yang tersisa untukku disini??
Kurasakan laju kendaraan yang kutumpangi mulai melambat. Di luar, sayup-sayup kudengar lagu-lagu khas kota ini didendangkan. Semenit kemudian, kendaraan ini benar-benar berhenti. Semua penumpang -dengan barang bawaan yang tak bisa dibilang sedikit- berlomba-lomba untuk keluar lebih dulu, berjejal, beradu dengan porter yang menyerbu masuk.
Kutebarkan pandangku ke areal luas yang membentang di hadapanku, tepat setelah aku berhasil keluar dari kuda besi pengangkutku. Kucari-cari sosok itu, tak ada! Apakah ia tak datang? Entahlah, yang kusadari berikutnya, langkah kakiku mulai beranjak menjauh dari hiruk-pikuk orang-orang yang disambut-menyambut ataupun yang melepas-dilepas sanak keluarganya.
Sebuah tepukan halus di ujung pintu keluar mengagetkanku. Kupalingkan pandangku. Ah, ada juga yang kukenal. Dan masih seperti tahun-tahun yang telah berlalu, tak banyak kata yang terucap dalam setiap pertemuan kami. Segera diambilalihnya barang bawaanku yang tak seberapa. Kuikuti langkah panjangnya, dalam hati aku berdoa ini tak akan jadi malam panjang tiada ujung. Esok, siap atau tidak aku harus menghadapi kenyataan.
Bib..bib..bib..bib..
Siapa lagi kali ini?
pengirim: pass to the journey
10 Mei 2003
21:45
Ada dorongan dalam rasa untuk menyapamu, menjumpaimu meski tak bisa memandangmu..berharap semoga esok dapat kutemukan kau disini..meski harap itu tak mungkin nyata..
Kubaca sekali lagi pesan itu, dan aku merasakan kedua ujung bibirku tertarik. Sungguh, tak bisa kuhalau dorongan untuk tersenyum ini. Apakah ini artinya perjalanan panjang ini kan membawa perubahan? Entahlah…
Kurasakan sekali lagi sentuhan halus di pundakku. Refleks kualihkan pandangku, yang kutatap hanya menganggukkan wajahnya ke depan. Dan aku tahu pasti apa artinya, selamat datang di keping masa lalu.
Kubiarkan diriku menghambur ke dalamnya, sepi! Sepertinya semua orang sudah terlelap, sudahlah. Kuseret kakiku menuju sudut nyaman itu. Kuhempaskan badanku disana. Dalam sunyi kubaca lagi satu persatu pesan yang masuk, namun nyatanya hasratku tak terbantahkan. Aku justru kembali membuka pesan yang satu itu, pesan yang sama yang telah kubaca ribuan kali..
pengirim: pass to the journey
01 Jan 2003
00:00
Andai aku bisa melakukan apa yang ada di benakmu pasti aku sudah disitu. Tapi aku tetap disini untuk merajut sebuah cita cinta. Bukankah titik terang itu ada di ujung mata, menoleh adalah salah?
Salahkah rasa? Adakah makna dibalik semua pertanda? Entahlah..aku lelah. Yang kutahu, aku harus segera menutup mata dan biarkan semua tanya itu melebur dalam lelah.
Bib..bib..bib..bib
pengirim: pass to the journey
10 Mei 2003
00:45
Masih adakah bintang yang menerangi bumi dengan kilau cahaya kecilnya? Kemana arus membawa sampan tanpa nahkoda? Kalau hati masih ada, kenapa menutupi dengan kebencian? Lalu arti cinta?
Kutegakkan kembali tubuhku yang sudah remuk redam. Hhh, perkiraanku tepat! Ini akan jadi malam panjang yang melelahkan. Kubaca sekali lagi pesan yang baru saja menerobos masuk. Kuresapi kata per kata, pilihan diksi itu. Ah, dia tak pernah berubah. Tapi apalah artinya cinta? Masihkah cinta itu menyimpan makna? Dan kebencian? Benarkah rasa itu bermetamorfosis menjadi sesuatu yang dilabeli sebagai sesuatu yang negatif bernama kebencian?
Aku lelah!! Sekali ini saja aku tak ingin memikirkan semua untaian kata yang terjalin indah dan menjelma menjadi daya pikat magis bernama puisi itu. Namun toh, menepisnya begitu saja dan menganggapnya tak pernah ada juga bukan hal yang mudah, kalau tak boleh kubilang tak mungkin.
Meski matahari tak bersinar karena mendung. Setangkai mawar telah menusukkkan durinya ke jantungku. Tapi aku masih punya Tuhan dan keabadian cinta. Ini buatku bertahan.
terkirim: pass to the journey
10 Mei 2003
01:15
Kuhempaskan badanku sekali lagi ke sudut nyamanku. Kuhembuskan nafas panjang dan berat. Mencoba menutup mata, mengistirahatkan hati dan pikiran, melepas segala penat dan resah yang merundung. Tak mudah, karena kini ribuan tanya justru memenuhi rongga kepala. ”Kemana semua pertanda ini akan berakhir? Adakah dia membaca makna dibalik semua pesan yang terukir?”
Pendar…remang…gelap..dan aku terlelap.
Bib..bib..bib..bib..
Kucari benda mungil pengganggu tidur, perusak mimpi. Meski berat, kucoba memuka mata. Ah, dia lagi..
pengirim: pass to the journey
10 Mei 2003
05.00
wake up girl, this is the day, time to find the answer..ayo, mumpung bintang masih mau bersinar..
Nyatakah bintang itu? Sungguhkah sinarnya untukku? Auww, serangan ini kembali menyiksaku, ke titik saraf di sudut kepalaku. Sungguh, bukan ini yang kumau..aku harus segera beranjak, bersiap, dan berpetualang..mencari jawab atas semua tanya, untuk segala pertanda yang mengharap makna.
****
ilustrasi cerpen
Sejumput ragu terlukis di wajah penuh kasih itu. Kuanggukkan kepala sembari hadirkan senyum terindah, berharap ia kan melepasku tanpa gundah. Sungguh, aku akan baik-baik saja. Tak perlu risau itu..toh, ini hanya perjalanan pencarian atas sejuta tanya.
Jemari halus itu menelusuri tiap jengkal wajahku. Ah, tapi tatap mata itu masih sama. Seolah tak rela aku berlalu, setidaknya tidak seorang diri.
Kugenggam tangan penuh kasih itu, tangan yang membuaiku puluhan tahun. Kukirimkan seuntai pesan, tak perlu gundah itu. Tanpa kata, hanya dengan selaksa rasa kulepas tautan kami. Kupalingkan raga, menajuh darinya. Pencarianku akan segera dimulai..
Dan, tanpa menunggu lebih lama lagi segera saja kendaraan ini melaju, membawaku berlalu menuju gudang jawaban untuk semua tanya yang membelenggu.
Tak banyak yang bisa kunikmati. Jalanan yang kulalui masih sama. Entah berapa ribu kali aku melaluinya. Pun, aku tak terlalu peduli karenanya. Di kepalaku, ribuan memori silih berganti menggirim penggal-penggal peristiwa di masa lalu, tentang pencarian, persahabatan, perjuangan, pemenuhan ambisi, juga tentang pencapaian mimpi.
Kurasakan sentakan hebat di bahuku, nyaris membuatku melompat dari tempat duduk. Hhh, hanya kondektur yang mengingatkanku untuk bersiap, pemberhentianku sudah begitu dekat.
****
Kuayunkan langkah kakiku dengan mantap. Tak salah lagi, ini pasti tempatnya. Kubuka kembali papirus yang ia kirim, benar! Di sinilah aku harus berada. Membaur bersama orang-orang yang tumpah ruah, yang tak kukenal satu pun! aku memandang sekelilingku, asing. Sejurus kemudian, sayup-sayup derap langkah kaki kuda mengusikku.
Mungkin selama ini aku terlalu yakin bisa mengatasi segalanya, sayang pada kenyataaannya aku justru merasa tungkai kakiku begitu lemas, bahkan untuk sekadar menopang berat badanku.
Aku nyaris ambruk kalau saja tak ada sebatang pohon yang bisa kugunakan untuk menyanggah tubuhku. Entah karena melihatnya atau karena aku mendapati kenyataan yang menjawab sudah semua tanya yang menggelayuti. Kuda itu, aku tahu apa artinya.. satu asa yang pernah kututurkan padanya. Ah, tapi nyatakah ini? Atau semua hanya prasangkaku?
Perlahan, kujejakkan kaki menyusuri jalan setapak, mendekat ke arahnya. Ah, ternyata semua kenangan itu juga masih ada padanya. Kucermati ruangan tempat kami berada..sekali lagi aku menemukan satu pertanda yang membuat semuanya makin nyata. Detail ruangan ini tepat seperti apa yang pernah kami rencanakan.
Dia melihatku, mata kami beradu. Ah, ada perubahan pada air mukanya. Tapi aku sedang tak ingin peduli pada apa pun. Aku hanya menginginkan jawaban, memuaskan rasa ingin tahuku.
Kujabat tangannya erat, berharap bisa memindahkan segala rasa yang berkecamuk dalam diri kepadanya. Nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya. Kami seolah saling mencoba melepas beban pada satu sama lain.
”Kamu datang? Maaf..,” bisiknya menggantung, seolah ada banyak hal yang ingin ia ungkap, tapi aku tahu itu tak mungkin.
”Banyak cinta datang dan pergi dalam kehidupan..hanya cinta sejati yang akan meninggalkan jejak di hati..,” kubisikkan kata-kata itu di telinganya. Di sisinya, perempuan itu menatapku tajam, seolah ingin mengajukan keberatan..namun kata-katanya seolah tertelan kecamuk pikiran.
Aku tak peduli puluhan mata memandangku dan bukan tak mungkin mencemooh tingkahku sesaat lalu, sesuatu yang tak seharusnya kulakukan. Tapi sungguh, aku tak ingin memusingkannya..yang kutahu kini, aku mulai melangkah menjauh, meninggalkan perhelatan akbar itu, pesta pernikahan lelaki yang pernah melamarku..
Dimuat di Majalah Chic Edisi 65, terbit 16-30 Juni 2010

No comments:

Post a Comment